Dar al-Ifta’
al-Misriyyah atau Lembaga Fatwa Mesir adalah lembaga fatwa pertama yang
didirikan di dunia Islam. Lembaga ini menjadi salah satu rujukan
terpenting umat Islam seluruh dunia untuk mengetahui jawaban setiap
permasalahan hukum-hukum Islam.
Salah
satu permasalahan dalam Islam itu adalah berhubungan dengan hukum
mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam. Dewan fatwa Mesir telah menjawab
hukum maulid nabi dengan begitu jelas disertakan dengan dalil-dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Berikut adalah penjelasan fatwa selengkapnya yang dikutip dari situs resmi Dar al Ifta’ al Misriyah (
http://www.dar-alifta.org):
FATWA ULAMA-ULAMA MESIR TENTANG HUKUM MAULID NABI MUHAMMAD RASULULLAH SAW
Kelahiran
Nabi Muhammad saw. merupakan rahmat Allah yang terus mengalir bagi
seluruh manusia. Alquran menggambarkan keberadaan Nabi Muhammad saw.
sebagai “rahmatan lil ‘alamîn” (rahmat bagi semesta alam). Beliau
merupakan rahmat tak bertepi yang mencakup semua sisi kehidupan, baik
tarbiyah (pendidikan), tazkiyah (penyucian hati), pengajaran dan
pemberian hidayah bagi manusia kepada jalan yang lurus. Semua itu
mencakup aspek materi dan immateri dalam kehidupan manusia. Rahmat ini
juga tidak terbatas pada manusia di zaman beliau saja, akan tetapi juga
terus berkelanjutan kepada seluruh manusia sepanjang masa. Allah
berfirman:
“Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka.” (Qur’an Surat Al-Jumu’ah: 3).
Merayakan
peringatan maulid Nabi Muhammad saw. –sang penghulu dua alam; alam
nyata dan alam ghaib, penutup para nabi dan rasul, nabi pembawa rahmat
dan penolong umat— adalah salah satu amalan yang paling baik dan ibadah
yang paling agung. Karena, perayaan ini merupakan ungkapan rasa gembira
dan cinta kepada beliau, dan kecintaan kepada beliau merupakan salah
satu pondasi dari keimanan. Diriwayatkan dalam hadis shahih bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidak
beriman seseorang diantara kalian sehingga menjadikan diriku lebih
dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia.” (Hadits Riwayat Bukhari).
Ibnu
Rajab berkata, “Mencintai Nabi Muhammad saw. adalah salah satu pondasi
keimanan. Kecintaan itu berjalan beriringan dengan kecintaan kepada
Allah ‘azza wa jalla. Allah telah menyebutkan kecintaan kepada Nabi
Muhammad saw. berbarengan dengan kecintaan kepada-Nya. Allah pun
mengancam orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada segala sesuatu
yang dicintainya secara alami —seperti keluarga, harta, tanah air dan
lain sebagainya— dari kecintaan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad saw..
Allah SWT berfirman,
“Katakanlah:
“Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (Qur’an Surat At-Taubah: 24).
Ketika
Umar berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau
lebih saya cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku.” Maka Nabi
saw. bersabda kepadanya,
لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
“Tidak. Demi Allah, sampai engkau menjadikan diriku lebih kau cintai dari pada dirimu sendiri.”
Maka Umar pun berkata, “Demi
Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih saya cintai dari pada diriku
sendiri.” Maka Nabi saw. pun bersabda kepadanya, “Sekarang engkau telah
mengetahuinya wahai Umar.” (Hadits Riwayat Bukhari).
Memperingati
maulid Nabi saw. merupakan bentuk penghormatan kepada beliau. Dan
menghormati Nabi saw. merupakan amalan yang mutlak dianjurkan, karena ia
merupakan pondasi dan asas utama dalam akidah Islam. Allah SWT
mengetahui derajat kemuliaan Nabi-Nya, sehingga Dia memberitahukan
kepada seluruh alam mengenai namanya, pengutusannya serta derajat dan
martabatnya. Seluruh semesta pun senantiasa bergembira dan berbahagia
dengan keberadaan beliau sebagai cahaya, kelapangan, hujjah serta nikmat
bagi seluruh makhluk Allah.
Para
salaf saleh kita, sejak abad keempat dan kelima hijriyah, telah memberi
contoh untuk merayakan peringatan maulid Nabi saw.. Mereka menghidupkan
malam maulidnya dengan berbagai macam bentuk ibadah, seperti memberi
jamuan makan, melantunkan ayat-ayat Alquran, membaca zikir serta
mendendangkan syair-syair dan bait-bait pujian untuk beliau. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh banyak ahli sejarah, seperti al-Hafiz Ibnu
Jauzi, al-Hafiz Ibnu Katsir, al-Hafiz Ibnu Dihyah al-Andalusi, al-Hafiz
Ibnu Hajar dan penutup para huffâzh, al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuti rahimahumullah.
Bahkan,
beberapa orang ulama dan ahli fikih telah menyusun kitab-kitab mengenai
anjuran memperingati maulid Nabi saw. dengan menyebutkan dalil-dalilnya
yang shahih. Sehingga dalam diri orang yang mempunyai akal, pemahaman
dan pikiran yang jernih, tidak akan ada sikap pengingkaran terhadap
perayaan maulid yang telah dilakukan oleh para salaf saleh kita itu.
Ibnu al-Hajj, dalam kitabnya al-Madkhal,
secara panjang lebar menyebutkan keutamaan perayaan maulid Nabi ini.
Dia memberikan penjelasan yang membuat lega hati kaum muslimin. Padahal,
bukunya itu dia tulis dengan tujuan menyebutkan perbuatan-perbuatan
bid’ah tercela yang tidak masuk dalam kerangka umum dalil-dalil syariat.
Imam Suyuthi juga menulis sebuah risalah dalam masalah ini dengan judul
Husnul Maqshid fî ‘Amalil Maulid.
Kata ihtifâl (merayakan), dalam bahasa Arab, berasal dari kata hafala, yahfilu haflan, wa hufulan yang artinya berkumpul. Seperti dalam kalimat hafala al-labanu fi adh-dhar’ (air susu terkumpul di ambing susu binatang). Sedangkan kata kerja tahaffala dan ihtafala berarti ijtama’a (berkumpul). Kata kerja hafala masuk dalam bab kata kerja dharaba. Ihtafalû berarti ijtama’û wa ihtasyadû (mereka berkumpul). Kalimat: “Wa’indahu hafl min an-nâs“, maksudnya terdapat sekelompok orang di tempatnya. Asal kata ihtifâl ini adalah berbentuk nomina (mashdar). Mahfil al-qaum berarti tempat perayaan dan berkumpulnya suatu kaum. Kalimat hafalahu, berarti mengajaknya sehingga dia ikut berpesta dan merayakan. Kalimat hafala al-amra, berarti memperhatikan suatu perkara. Disebutkan juga: laa tahfil bihi, “jangan mempedulikannya”.
Sedangkan maksud ihtifâl
(perayaan) dalam konteks ini tidak jauh berbeda dengan makna bahasanya.
Karena maksud dari perayaan maulid Nabi saw. adalah berkumpulnya
orang-orang untuk berzikir, mendendangkan nasyid pujian untuknya,
membuat jamuan makan sebagai sedekah karena Allah, mengungkapkan rasa
kecintaan kepada Nabi saw. serta menyatakan rasa bahagia dan gembira
kita dengan hari kelahirannya.
Masuk
juga dalam hal ini kebiasaan masyarakat yang membeli makanan ringan dan
menghadiahkannya kepada orang-orang ketika Maulid Nabi. Saling memberi
hadiah sendiri merupakan perbuatan yang dibolehkan, tidak ada dalil yang
melarang untuk melakukannya dalam waktu-waktu tertentu. Maka jika ia
dibarengi dengan maksud mulia, seperti membuat gembira keluarga dan
menyambung tali silatruahmi dengan kerabat, maka perbuatan tersebut
menjadi dianjurkan dan disunahkan. Lalu jika hal itu merupakan ungkapan
rasa bahagia karena kelahiran Nabi saw., maka hal itu lebih dimasyru’kan
dan dianjurkan, karena (wasilah) sarana mempunyai hukum tujuan. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya merupakan bentuk sikap keras kepala yang tercela.
Ada
suatu hal yang membuat sebagian orang menjadi ragu-ragu untuk merayakan
peringatan maulid ini, yaitu ketiadaan perayaan semacam ini pada
masa-masa awal Islam yang istimewa (al-qurûn al-ûlâ al-mufadhdhalah).
Argumen ini, demi Allah, bukanlah alasan yang tepat untuk melarang
perayaan itu. Karena, tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaan
mereka radhiyallahu ‘anhum terhadap Nabi saw.. Namun, kecintaan
ini mempunyai cara dan bentuk pengungkapan yang bermacam-macam. Dan
cara-cara yang berbeda-beda itu sama sekali tidak dilarang untuk
dilakukan. Karena, cara-cara tersebut bukanlah suatu bentuk ibadah jika
dilihat dari inti pelaksanaannya. Berbahagia dan bergembira dengan
adanya Nabi saw. merupakan ibadah, tapi cara pengungkapan kebahagiaan
itu hanya merupakan wasilah (sarana) yang diperbolehkan untuk
digunakan. Setiap orang dapat memilih cara yang paling sesuai dengan
dirinya untuk mengungkapkan hal itu.
Dalam
Sunnah Nabi juga terdapat riwayat yang menunjukkan perayaan para
sahabat terhadap Nabi saw. dengan adanya iqrâr (persetujuan) dan izin
dari beliau langsung. Diriwayatkan dari Buraidah r.a., dia berkata,
“Pada suatu ketika Rasulullah saw. pergi berperang. Lalu ketika pulang,
seorang budak wanita hitam mendatangi beliau lalu berkata, “Wahai
Rasulullah, saya telah bernazar jika Allah membawamu pulang ke Madinah
dalam keadaan selamat maka saya akan memainkan rebana dan bernyanyi di
hadapanmu. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau memang telah
bernazar untuk memainkan rebana, maka lakukanlah. Namun jika engkau
tidak bernazar untuk melakukannya, maka engkau tidak perlu
melakukannya”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, dan
dia berkata, “Ini adalah hadis hasan shahih gharib”. Jika memainkan
rebana sebagai ungkapan rasa bahagia karena kedatangan Nabi saw. dari
peperangan merupakan hal yang dimasyru’kan yang diakui oleh Nabi saw.
dan beliau mengizinkan orang yang bernazar dengannya untuk melakukannya,
maka mengungkapkan rasa bahagia karena kedatangan beliau ke dunia
–dengan rebana atau hal lain yang dibolehkan— tentu lebih dimasyru’kan
dan lebih dianjurkan.
Jika Allah saja
meringankan azab Abu Lahab di neraka dengan memberinya minuman dari
lubang kecil di telapak tangannya setiap hari Senin karena
kegembiraannya atas kelahiran manusia terbaik –yaitu dengan memerdekakan
budaknya yang bernama Tsuwaibah karena telah menyampaikan kabar gembira
kepadanya atas kelahiran Nabi saw., padahal Abu Lahab adalah orang yang
paling kafir, sering menentang dan memerangi Allah dan Rasul-Nya—, maka
sudah barang tentu kaum mukminin lebih berhak mendapatkan pahala karena
kegembiraan mereka atas kelahiran beliau sebagai cahaya yang menyinari
semesta. Rasulullah saw. sendiri telah mengajarkan kepada kita bagaimana
cara bersyukur kepada Allah atas kelahirannya itu.
Dalam hadis shahih
yang diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a., bahwa Nabi saw. berpuasa pada
hari Senin dan bersabda,
ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Itu adalah hari dimana aku dilahirkan.” (Hadits Riwayat Muslim, dari hadis Abu Qatadah).
Ini
merupakan bentuk rasa syukur beliau atas karunia Allah kepadanya dan
kepada umatnya. Sehingga, sudah sepatutnya umat ini juga mengikuti
beliau untuk bersyukur kepada Allah SWT atas karunia dan nikmat
diutusnya beliau dengan segala bentuk cara bersyukur. Bentuk bersyukur
itu dapat diungkapkan dengan memberikan jamuan makan, mendendangkan
pujian-pujian, berkumpul untuk berzikir, berpuasa, melakukan salat dan
lain sebagainya.
Ash-Shalihi, dalam kitab sejarahnya, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd fî Hadyi Khair al-‘Ibâd,
menukil dari seorang saleh pada zamannya, bahwa dia bermimpi bertemu
dengan Nabi saw.. Orang itu mengadu kepada beliau bahwa ada sebagian
orang yang mengaku berilmu mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi saw.
adalah bid’ah. Maka Nabi saw. bersabda kepadanya, “Barang siapa yang
bergembira karena kami, maka kami akan bergembira karenanya.”
Demikian
juga hukum merayakan kelahiran para Ahlul Bait dan para wali Allah,
serta menghidupkan perayaan mengenang mereka dengan melakukan berbagai
ketaatan. Sesunggunya semua itu adalah hal yang dianjurkan secara
syarak, karena acara-acara tersebut mengandung upaya untuk meniru dan
menauladani mereka. Terdapat perintah syarak untuk senantiasa mengingat
dan mengenang para nabi dan para orang saleh. Allah berfirman,
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Alquran) ini.” (Qur’an Surat Maryam: 41).
Dan firman Allah,
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Alquran) ini.” (Qur’an Surat Maryam: 51).
Perintah
ini tidak terdatas untuk mengenang para nabi, namun masuk di dalamnya
juga orang-orang saleh. Hal ini karena Allah berfirman,
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran.” (Qur’an Surat Maryam: 16).
Karena
merupakan kesepakatan muhaqqiqin, Maryam As. bukanlah seorang nabi
melainkan seorang shiddiqah. Demikian pula terdapat perintah untuk
mengingatkan hari-hari Allah, yaitu dalam firman-Nya,
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah“. (Qur’an Surat Ibrahim: 5).
Termasuk
hari-hari Allah adalah hari kelahiran dan termasuk hari-hari Allah
adalah hari-hari kelahiran dan hari-hari kemenangan. Oleh karena itu
Rasulullah saw. berpuasa pada hari Senin setiap minggunya sebagai rasa
syukur kepada Allah atas nikmat penciptaan juga sebagai perayaan bagi
hari kelahiran beliau, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis riwayat
Abu Qatadah al-Anshari dalam shahih Muslim. Sebagaimana Rasulullah saw.
juga berpuasa pada hari Asyura (tanggal 10 Muharram) dan memerintahkan
umat beliau untuk berpuasa sebagai rasa syukur, bahagia dan perayaan
terhadap keselamatan Nabi Musa a.s..
Dan Allah telah memuliakan hari
kelahiran di dalam Kitab-Nya dan melalui ucapan para nabi-Nya. Allah
berfirman,
“Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan.” (Qur’an Surat Maryam: 15).
Dan Allah berfirman melalui ucapan Isa al-Masih a.s.,
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan.” (Maryam: 33).
Hal
ini karena dalam hari kelahiran terwujud kenikmatan penciptaan yang
merupakan sebab dari diperolehnya semua nikmat yang diperoleh manusia
setelahnya.
Oleh karena itu,
mengenang hari kelahiran dan mengingatkan orang lain tentang hari
kelahiran merupakan pintu bagi orang-orang untuk bersyukur kepada nikmat
Allah. Maka tidak apa-apa menentukan hari tertentu guna mengadakan
mengingat para wali Allah.
Kemasyru’iatan
acara semacam ini tidak rusak karena terjadinya hal-hal yang
diharamkan. Akan tetapi acara-acara seperti ini tetap dilaksanakan
dengan menolak terjadinya kemungkaran-kemungkaran. Orang-orang yang
merayakannya juga perlu diingatkan bahwa kemungkaran-kemungkaran
tersebut bertentangan dengan tujuan utama acara-acara mulia tersebut.
Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.